PENDIDIKAN KARAKTER ALA PESANTREN DALAM NEGERI 5 MENARA
/1/
Karakter merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia (SDM) karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karena itu, karakter menjadi prasyarat dasar dan integral. Karakter itu akan membentuk motivasi, pada saat yang sama karakter dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak (1995:445). Jadi, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi.
Karakter merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia (SDM) karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karena itu, karakter menjadi prasyarat dasar dan integral. Karakter itu akan membentuk motivasi, pada saat yang sama karakter dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak (1995:445). Jadi, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi.
Indonesia Heritage Foundation (IHF), sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang character building
 (pendidikan karakter) yang diprakarsai oleh Ratna Megawangi dan Sofyan 
A. Djalil melakukan pengkajian dan pengembangan pendidikan dengan 
menerapkan sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur 
universal, yaitu: pertama, cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; 
kedua, tanggung jawab, kedisplinan, dan kemandirian; ketiga, kejujuran; 
keempat, hormat dan santun; kelima, kasih sayang, kepedulian, dan 
kerjasama; keenam, percaya diri; kreatif, kerja keras, dan pantang 
menyerah; ketujuh, keadilan dan kepemimpinan; kedelapan, baik dan rendah
 hati; kesembilan, toleransi, cinta damai, dan persatuan. (http://ihfkarakter.multiply.com/journal/item/1/VISI_MISI_IHF).
 Kesembilan pilar karakter inilah yang harusnya dimiliki oleh setiap 
manusia, khususnya generasi muda guna menghadapi tantangan di masa 
depan.
Pendidikan karakter memang penting dalam 
perkembangan manusia Indonesia saat ini. Terlebih dalam era global yang 
setiap negara berusaha memberi karakter setiap warga negaranya yang 
menjadi identitas penting dalam pergaulan global. Karakter adalah cara 
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk 
hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa 
dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa 
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari 
keputusan yang ia buat.
Kehadiran novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi ini sepertinya sangat tepat seiring didengung-dengungkannya kembali perlunya pendidikan karakter di Indonesia. Novel yang berlatar belakang pendidikan pesantren ini menceritakan pengalaman penulisnya selama belajar di sebuah pondok pesantren (dalam cerita ini disebut Pondok Madani) di Jawa Timur. Novel ini merupakan sebuah teks yang terinspirasi dari pengalaman penulisnya sendiri.
Kehadiran novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi ini sepertinya sangat tepat seiring didengung-dengungkannya kembali perlunya pendidikan karakter di Indonesia. Novel yang berlatar belakang pendidikan pesantren ini menceritakan pengalaman penulisnya selama belajar di sebuah pondok pesantren (dalam cerita ini disebut Pondok Madani) di Jawa Timur. Novel ini merupakan sebuah teks yang terinspirasi dari pengalaman penulisnya sendiri.
/2/
Novel, sebagai salah satu bentuk karya sastra pada dasarnya merupakan hasil imajinasi dan kreativitas pengarang yang bersumber dari pengalaman, baik pengalaman lahir maupun pengalaman batin. Pengalaman ini disusun secara kreatif, imajinatif, sistematis, dan estetis dengan menggunakan bahasa sebagai medianya sehingga mampu menyajikan jalinan cerita yang indah serta mampu memberikan wawasan yang merupakan hasil renungan tentang beraneka ragam pengalaman kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Maman S. Mahayana (2006:85) yang menyatakan bahwa sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman. Pengejawantahannya sangat mungkin berdasarkan pengalaman lahiriah (sensation) atau pengalaman batiniah (re-flexion). Dalam bahasa yang lebih umum, pengalaman itu mungkin berdasarkan pengalaman objektif semata-mata, atau mungkin juga terpaksa harus direkayasa dan diperkaya dengan pengalaman imajinatif dan pengalaman intelektual. Melalui karyanya, seorang pengarang berusaha merefleksikan gejolak dalam jiwanya, baik berupa luapan emosi tentang keputusasaan, kegelisahan, protes diri, sebuah cita-cita, ataupun merekam suatu peristiwa.
Novel, sebagai salah satu bentuk karya sastra pada dasarnya merupakan hasil imajinasi dan kreativitas pengarang yang bersumber dari pengalaman, baik pengalaman lahir maupun pengalaman batin. Pengalaman ini disusun secara kreatif, imajinatif, sistematis, dan estetis dengan menggunakan bahasa sebagai medianya sehingga mampu menyajikan jalinan cerita yang indah serta mampu memberikan wawasan yang merupakan hasil renungan tentang beraneka ragam pengalaman kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Maman S. Mahayana (2006:85) yang menyatakan bahwa sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman. Pengejawantahannya sangat mungkin berdasarkan pengalaman lahiriah (sensation) atau pengalaman batiniah (re-flexion). Dalam bahasa yang lebih umum, pengalaman itu mungkin berdasarkan pengalaman objektif semata-mata, atau mungkin juga terpaksa harus direkayasa dan diperkaya dengan pengalaman imajinatif dan pengalaman intelektual. Melalui karyanya, seorang pengarang berusaha merefleksikan gejolak dalam jiwanya, baik berupa luapan emosi tentang keputusasaan, kegelisahan, protes diri, sebuah cita-cita, ataupun merekam suatu peristiwa.
Novel Negeri 5 Menara
 ini menceritakan Alif Fikri, seorang pemuda Minangkabau lulusan 
Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang dengan setengah hati “hijrah” ke Jawa 
untuk menimba ilmu di salah satu Pondok Pesantren terkenal di Ponorogo, 
Jawa Timur. Kepergiannya yang setengah hati untuk merantau ke tanah Jawa
 bukannya tanpa sebab. Alif, seorang pemuda yang memiliki cita-cita 
suatu saat nanti bisa seperti Pak Habibie, sesungguhnya ingin 
melanjutkan sekolah ke SMA umum (non agama). Sementara ibunya 
menginginkan agar Alif melanjutkan ke jalur pendidikan agama Islam, 
Madrasah Aliyah (MA) dan menjadi seorang ahli agama suatu saat nanti.
Kondisi tersebut membuat Alif dilanda kekalutan, antara berbakti pada orang tua dengan mengikuti keinginan ibunya, yaitu melanjutkan bersekolah ke Madrasah Aliyah ataukah melanjutkan mimpinya untuk sekolah di SMA umum. Hingga akhirnya, dengan referensi dari salah seorang kerabat, Alif dengan berat hati memenuhi permintaan orangtuanya untuk menempuh jalur pendidikan agama Islam tetapi dengan suatu syarat. Alif tidak mau masuk Madrasah Aliyah (MA) di Minang; tetapi ia memilih mendalami ilmu agama ke Pondok Madani (PM), sebuah pesantren di Jawa Timur.
Kondisi tersebut membuat Alif dilanda kekalutan, antara berbakti pada orang tua dengan mengikuti keinginan ibunya, yaitu melanjutkan bersekolah ke Madrasah Aliyah ataukah melanjutkan mimpinya untuk sekolah di SMA umum. Hingga akhirnya, dengan referensi dari salah seorang kerabat, Alif dengan berat hati memenuhi permintaan orangtuanya untuk menempuh jalur pendidikan agama Islam tetapi dengan suatu syarat. Alif tidak mau masuk Madrasah Aliyah (MA) di Minang; tetapi ia memilih mendalami ilmu agama ke Pondok Madani (PM), sebuah pesantren di Jawa Timur.
Maka berangkatlah Alif yang ketika itu 
masih berusia sangat muda, merantau ke Jawa. Dan perjalanan hidup Alif 
sebagai salah satu siswa pondok pesantren pun dimulai. Peraturan 
pesantren yang sangat ketat, jadwal kegiatan yang padat, kewajiban 
memakai bahasa Inggris dan Arab dalam setiap kegiatan komunikasi, serta 
hukuman yang siap menanti sekecil apapun kesalahan yang diperbuat, 
membuat Alif tidak tahan pada saat awal-awal bersekolah di pondok 
pesantren. Gelombang emosi Alif yang naik turun menghiasi hari-harinya 
pada saat menimba ilmu di pondok pesantren tersebut. Ragu dan menyesal 
sempat terbersit di benak Alif, apalagi ketika Alif menerima surat dari 
sahabat dekat yang sekaligus rivalnya ketika sekolah dulu, yaitu Randai,
 yang kini seolah sedang berjaya di sebuah SMA Favorit di Bukit Tinggi, 
sebuah SMA impian Alif.
Seiring berjalannya waktu, lambat laun 
Alif dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan PM. Alif juga menemukan 
sahabat-sahabat senasib yang kemudian dinamai Sahibul Manara–sahabat 
yang sering berkumpul di bawah menara masjid Pondok Madani sambil 
menunggu adzan Maghrib. Mereka adalah Said dari Surabaya, Raja dari 
Medan, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. 
Bersama, mereka saling menasehati, saling berbagi mimpi, dan saling 
membantu satu sama lain. Kehidupan PM yang ketat dalam menerapkan 
disiplin membuat mereka harus saling mendukung agar kerasan 
menyelesaikan 4 tahun sekolah.
Banyak hal yang Alif dan kawan-kawannya 
dapatkan dari PM, tidak hanya pelajaran “biasa”, tetapi juga pelajaran 
tentang kehidupan, yang ia bawa sebagai bekal di kehidupan selanjutnya. 
Tekanan hidup tidak membuat Alif dan para santri lainnya menjadi patah 
dan mengkerut, tetapi justru membuat mereka semakin kuat mental dan 
tahan banting. Hasilnya, mereka menjadi pribadi-pribadi muda yang tegar,
 optimistis, percaya diri, juga fasih berbahasa Arab dan Inggris.
/3/
Sebagai karya kreatif yang bersifat imajinatif, karya sastra tidak hanya diharapkan dapat memberi hiburan, tetapi juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca melalui nilai-nilai yang diusungnya. Dalam hal ini Maman S. Mahayana (2005:58) menjelaskan pendapatnya bahwa unsur hiburan dalam karya sastra menyangkut faktor keindahan estetika. Pembaca dihadapkan pada dunia rekaan yang memesona: tokoh-tokoh yang menakjubkan, peristiwa yang menegangkan, atau kata-kata puitik yang indah dan sarat makna. Karya sastra yang baik akan selalu menggugah emosi pembacanya. Karya sastra yang baik diharapkan memunculkan nilai-nilai positif tentang pengalaman kehidupan sehingga dapat menggugah perasaan, membuka pikiran, dan hati nurani pembacanya.
Sebagai karya kreatif yang bersifat imajinatif, karya sastra tidak hanya diharapkan dapat memberi hiburan, tetapi juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca melalui nilai-nilai yang diusungnya. Dalam hal ini Maman S. Mahayana (2005:58) menjelaskan pendapatnya bahwa unsur hiburan dalam karya sastra menyangkut faktor keindahan estetika. Pembaca dihadapkan pada dunia rekaan yang memesona: tokoh-tokoh yang menakjubkan, peristiwa yang menegangkan, atau kata-kata puitik yang indah dan sarat makna. Karya sastra yang baik akan selalu menggugah emosi pembacanya. Karya sastra yang baik diharapkan memunculkan nilai-nilai positif tentang pengalaman kehidupan sehingga dapat menggugah perasaan, membuka pikiran, dan hati nurani pembacanya.
Novel Negeri 5 Menara
 ini menyuguhkan suatu cerita yang membuka pandangan pembaca tentang 
seluk-beluk pendidikan pesantren modern yang selama ini hanya menjadi 
cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum 
santri dengan humor khas pesantren ditandaskan dengan modus pengisahan 
yang menakjubkan. Pendidikan pesantren modern yang digambarkan dalam 
novel ini sungguh tidak main-main. Pembentukan karakter benar-benar 
ditanamkan secara kuat, nyata, dan konsisten sehingga mampu melahirkan 
generasi yang benar-benar tangguh.
Sebagai sekolah berbasis agama (Islam), karakter cinta Tuhan tentu saja menjadi hal yang mutlak di PM. Setiap gerak langkah para santri harus dilandaskan sebagai ibadah yang merupakan wujud kecintaan mereka kepada Tuhan. Termasuk juga dalam kegiatan menuntut ilmu yang memang menjadi tujuan para santri yang datang ke PM. Doktrin tentang hal ini ditanamkan pada pidato awal pimpinan pondok pada acara penerimaan santri baru sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.
Sebagai sekolah berbasis agama (Islam), karakter cinta Tuhan tentu saja menjadi hal yang mutlak di PM. Setiap gerak langkah para santri harus dilandaskan sebagai ibadah yang merupakan wujud kecintaan mereka kepada Tuhan. Termasuk juga dalam kegiatan menuntut ilmu yang memang menjadi tujuan para santri yang datang ke PM. Doktrin tentang hal ini ditanamkan pada pidato awal pimpinan pondok pada acara penerimaan santri baru sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.
”Menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan mendapat ilmu an kail. Kami, para ustad, ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlaskan pula niat kalian untuk mau dididik.” (hal. 50)
Ikhlas merupakan wujud kepasrahan dan 
kecintaan manusia kepada Tuhannya. Dalam menjalani hidup tak ada 
kepentingan apa-apa selain ibadah. Semua untuk kebaikan semesta, seperti
 yang diamanatkan Tuhan. Doktrin ini ternyata benar-benar dapat merasuk 
ke dalam sumsum para santri, sehingga semangat untuk beribadah dalam 
mencari ilmu ke mana pun itu tak pernah luntur, bahkan menggebu-gebu.
Sementara itu, untuk karakter 
kedisiplinan, PM juga tak main-main. Disiplin merupakan hal yang tak 
dapat ditawar di PM. Aturan-aturan yang wajib dipatuhi para santri 
diperkenalkan sejak hari pertama mereka masuk PM. Termasuk aturan 
mengenai kewajiban pemakaian bahasa Arab dan bahasa Inggris untuk segala
 komunikasi di PM. Hukuman tidak pandang bulu. Siapa yang melanggar 
aturan harus dihukum, meskipun santri baru. Sebagaimana terlihat dalam 
kutipan berikut.
” …, ingat juga bahwa aturan di sini punya konsekuensi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa mengikuti aturan, mungkin kalian tidak cocok di sini. Malam ini akan dibacakan qanun, aturan komando. Simak baik-baik, tidak ada yang tertulis, karena itu harus kalian tulis dalam ingatan. Setelah mendengar qanun, setiap orang tidak punya alasan tidak tahu bahwa ini aturan” (hal. 51)
Kedisiplinan memang merupakan satu pilar 
karakter yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi seorang pribadi 
yang matang dan sukses. Kesuksesan akan sulit diraih tanpa kedisiplinan 
yang tinggi. Inilah yang membuat PM begitu ketat menerapkan disiplin 
dalam mendidik para santrinya. Hukuman yang keras akan membuat santri 
jera dan lebih berhati-hati. Hukuman yang tidak pandang bulu juga 
mengajarkan para santri PM tentang keadilan. Misalnya ketika baru hari 
pertama di PM, Alif dan kawan-kawan yang hanya lima menit terlambat ke 
mesjid juga harus menerima hukuman. Pun ketika Alif dan kawan-kawan yang
 sudah duduk di kelas 6 (kelas paling senior) harus menerima hukuman 
digunduli ketika melakukan kesalahan yang cukup fatal, yaitu pergi ke 
Surabaya tanpa izin. Semua yang bersalah harus dihukum, tidak peduli 
santri junior ataupun senior
Demikian pula untuk kemandirian dan tanggung jawab. Pendidikan dengan model asrama (pondok) yang digambarkan dalam novel Negeri 5 Menara
 ini akan melatih kemandirian dan tanggung jawab. Para santri harus 
mampu mengurus dirinya sendiri juga barang-barang miliknya. Seperti 
mencuci baju, membersihkan kamar, dan sebagainya. Tugas sebagai bulis 
lail, petugas ronda malam yang diatur secara bergiliran juga menuntut 
dan melatih karakter tanggung jawab bagi para santri.
Pengaturan penghuni kamar yang selalu 
di-rolling setiap tiga bulan sekali juga mampu menumbuhkan karakter 
kasih sayang, cinta damai, dan kerjasama. Di samping itu, santri PM yang
 berasal dari berbagai suku, daerah, bahkan negara juga diatur 
sedemikian rupa agar dapat membaur satu sama lain. Pengaturan semacam 
ini tentu akan memperkuat rasa persatuan dan toleransi antar sesama 
santri.
Ilmu agama (Islam) memang merupakan hal 
yang pokok dipelajari di PM. Namun, selain itu, siswa juga diarahkan 
minat dan bakatnya pada berbagai hal, seperti musik, seni lukis, 
fotografi, jurnalistik, olahraga, pencak silat, kelompok baca dan 
sebagainya. Pentas seni bukan menjadi barang aneh bagi siswa-siswa 
Pondok Madani. Fotografi dan jurnalistik berpadu apik membangun redaksi 
Majalah Syams. Di sinilah karakter kreatif para santri dibentuk dan 
dikembangkan.
Tugas-tugas lain, seperti berpidato di depan umum dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab secara bergantian mampu menumbuhkan rasa percaya diri bagi para santri di PM. Demikian pula tugas menjadi imam salat, menjadi jasus (mata-mata), ketua kegiatan, juga mampu membentuk dan menumbuhkan jiwa kepemimpinan. Para santri dicetak menjadi pribadi yang harus siap memimpin dan dipimpin.
Tugas-tugas lain, seperti berpidato di depan umum dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab secara bergantian mampu menumbuhkan rasa percaya diri bagi para santri di PM. Demikian pula tugas menjadi imam salat, menjadi jasus (mata-mata), ketua kegiatan, juga mampu membentuk dan menumbuhkan jiwa kepemimpinan. Para santri dicetak menjadi pribadi yang harus siap memimpin dan dipimpin.
Dari berbagai pilar karakter yang telah 
diuraikan di atas, karakter kerja keras dan pantang menyerahlah yang 
sesungguhnya menjadi benang merah keseluruhan cerita dalam novel Negeri 5
 Menara ini. Aroma kerja keras dan pantang menyerah bahkan telah 
dikenalkan dalam pembuka novel ini, yaitu kutipan kata mutiara Imam 
Syafii sebagai berikut.
”Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negeri mu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran…”
Di PM, karakter kerja keras dan pantang 
menyerah juga didoktrinkan kepada para santri sejak awal masuk. Yaitu 
melalui mantra sakti berbahasa Arab, man jadda wajada, yang bermakna tegas: ”Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil!”.
 Cara menanamkannya dapat dikatakan cukup unik, yaitu dengan cara 
diteriakkan secara lantang dan berulang-ulang oleh para santri di 
masing-masing kelas sehingga para santri merasa tersengat ribuan tawon 
dan mantra tersebut benar-benar terekam dalam ingatan dan terpatri dalam
 hati. (hal. 40-41).
Pemimpin PM juga menegaskan bahwa belajar
 di PM tidak akan santai-santai. Semua harus mau bekerja keras agar 
dapat berhasil. Untuk bisa segera lancar berbahasa Inggris dan Arab, 
para santri harus mau rajin belajar, rajin membuka kamus. Toleransi 
untuk menggunakan bahasa Indonesia hanya pada tiga bulan pertama masuk. 
Setelah itu, para santri yang masih menggunakan bahasa Indonesia berarti
 melanggar aturan dan akan mendapatkan hukuman. Kemampuan berbahasa 
Inggris dan Arab tidak mungkin akan terwujud tanpa kerja keras para 
santri sendiri. Memang semua terasa berat pada awalnya. Namun, para 
ustad selalu membimbing dan mendukung para santri akan mampu melewati 
tekanan-tekanan yang berat itu. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
”Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjadi di depan. Karena yang kita tuju bukan sekarang, tapi ada yang lebih besar dan prinsipil, yaitu menjadi manusia yang telah menemukan misinya dalam hidup.” (hal. 106)
Internalisasi karakter kerja keras dan 
pantang menyerah selalu disampaikan melalui petuah-petuah para ustad 
dalam setiap kesempatan. Misalnya petuah seorang ustad mengenai kunci 
sukses berikut ini.
”… ada dua hal penting dalam mempersiapkan diri untuk sukses yaitu pertama, going to extra miles, tidak menyerah dengan rata-rata. Kalau orang belajar 1 jam, dia akan belajar 5 jam, kalau orang berlari 2 kilo, dia akan berlari 3 kilo. Kalau orang menyerah di detik ke-10, dia tidak akan menyerah sampai detik ke-20. Selalu berusaha meninkatkan diri lebih dari orang biasa. Karena itu mari budayakan going the extra miles, lebihkan usaha, waktu, upaya, tekad, dan sebagainya dari orang lain. Maka kalian akan sukses.
Kedua, tidak pernah mengizinkan diri kita dipengaruhi oleh unsur di luar diri kita sendiri. Oleh siapapun, apapun, dan suasana bagaimanapun. Artinya, kita jangan mau bersedih, kecewa, atau takut karena pengaruh faktor dari luar diri kalian. Oleh siapapun, apapun, dan suasana bagaimanapun. Artinya jangan mau sedih, marah, kecewa, dan takut karena ada faktor luar. Kalianlah yang berkuasa pada diri kalian sendiri, jangan serahkan kekuasaan pada orang lain. Orang boleh menodong senapan, tapi kalian punya pilihan, untuk takut atau tetap tegar. Kalian punya pilihan di lapisan diri kalian paling dalam, dan itu tidak ada hubungannya dengan pengaruh dari luar. (hal. 107)
Di PM, sebagaimana dikisahkan dalam novel
 ini, kerja keras dan pantang menyerah benar-benar menjadi ruh 
pendidikan, sehingga mampu membentuk pribadi-pribadi yang tangguh dan 
tidak mudah mengeluh. Berkat kerja keras dan pantang menyerah, Alif dan 
kawan-kawannya pun akhirnya mampu meraih mimpinya masing-masing yang 
pada awalnya dirasa sangat mustahil. Mereka berhasil mengunjungi 
menara-menara impiannya. Keajaiban-keajaiban dapat diciptakan dengan 
usaha-usaha yang tak kunjung menyerah. Kiai Rais -kepala PM- kepada para
 santrinya di PM menegaskan melalui sebuah nasihat:  
”pasanglah niat kuat-kuat, berusaha keras, dan berdoa khusyuk, lambat laun apa yang kalian perjuangkan akan berhasil. Ini sunatullah -hukum alam-”(hal.136).
Karakter kerja keras dan pantang menyerah
 tentu menjadi kunci kesuksesan yang telah diyakini banyak orang. Namun,
 dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita saat ini, karakter ini 
tampaknya semakin terkikis seiring perkembangan zaman. Masyarakat kita 
saat ini cenderung lebih menyukai segala yang bersifat instan. Mereka 
menginginkan hidup enak, hasil yang banyak, dengan usaha yang sedikit. 
Bila mendapat kesulitan sedikit, sudah mengeluh sebelum akhirnya 
menyerah. Karakter kerja keras dan pantang menyerah sepertinya tidak ada
 lagi dalam diri mereka. Menipisnya karakter kerja keras ini pula yang 
memicu munculnya budaya jalan pintas dalam berbagai segi kehidupan. 
Budaya jalan pintas inilah yang akhirnya memunculkan budaya baru, 
seperti kecurangan dalam ujian nasional, maraknya plagiarisme, juga 
merebaknya kasus-kasus korupsi.
/4/
Novel yang berbahan dasar kisah nyata ini memiliki daya pikat tersendiri. Penuturannya tergolong cukup lancar. Tak dimungkiri bahwa di balik kisah yang digarap A. Fuadi dalam buku ini, ada pengalaman empiris, katakanlah semacam fakta-fakta keras semasa pengarang menuntut ilmu di pesantren yang menjadi muasal pengisahannya. Tapi, dalam kerja kepengarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh imajinasi dan racikan diksi sehingga enak dinikmati dan diselami.
Novel yang berbahan dasar kisah nyata ini memiliki daya pikat tersendiri. Penuturannya tergolong cukup lancar. Tak dimungkiri bahwa di balik kisah yang digarap A. Fuadi dalam buku ini, ada pengalaman empiris, katakanlah semacam fakta-fakta keras semasa pengarang menuntut ilmu di pesantren yang menjadi muasal pengisahannya. Tapi, dalam kerja kepengarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh imajinasi dan racikan diksi sehingga enak dinikmati dan diselami.
Melalui novel ini, pengarang juga 
berhasil menyuguhkan cara pandang baru terhadap pondok pesantren yang 
selama ini dianggap sebagai tempat ’buangan’ anak-anak yang bermasalah. 
Image pondok sebagai tempat pendidikan kolot, kuno, berhasil pula 
ditepiskan dengan menyuguhkan gambaran pesantren sebagai tempat 
pendidikan yang mengarahkan santrinya untuk menjadi insan unggul baik 
dari sisi pendidikan agama maupun pendidikan non-agama, seperti orasi, 
olahraga, bahasa, seni, dan lain-lain. Model pendidikan karakter yang 
disajikan dalam novel ini juga memberikan referensi dan menawarkan 
alternatif kepada masyarakat, khususnya dunia pendidikan, yang bisa jadi
 model tersebut dapat diadopsi untuk diterapkan di lembaga-lembaga 
pendidikan yang lain. Mengingat karakter-karakter yang ditanamkan pun 
sifatnya universal, bukan hanya milik orang Islam.
Membaca novel Negeri 5 Menara
 ini, pembaca seakan-akan mendapat suntikan motivasi tentang pentingnya 
kerja keras atau daya juang. Bahwa hidup adalah kombinasi dari niat 
ikhlas, kerja keras, doa, dan tawakal (hal.382), itulah rumus berjuang 
yang ingin disampaikan novel ini. Man jadda wajada.#
PUSTAKA RUJUKAN
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Jakarta: Balai Pustaka
Herfanda, Ahmadun Y. 2008. ”Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya” dalam Bahasa dan Budaya dalam Berbagai Perspektif, Anwar Effendi, ed. Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara Wacana
Luxemburg, Jan van. dkk. (terj. Dick Hartoko). 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening
_________________. 2006. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
 
 
No comments:
Post a Comment