Marah, ketidakpercayaan, dan hampir kecewa melebur menjadi satu.
Sekali.
Satu kali aku merasakan perasaan tersebut. Ketika aku
masih mampu berpegangan kuat pada kata 'hampir', dan tidak mengijinkan apapun yang lebih dari itu benar-benar aku rasakan.
Hingga kata 'hampir' tersebut berubah menjadi nyata. Perasaan yang mengejutkan yang ternyata tidak mampu aku tahan. Perasaan yang dapat membuat aku menyakiti tubuhku. Dan bersamaan dengan itu, aku takut pada diriku sendiri. Tanpa tahu bagaimana harus berhenti.
Ketakutan atas diriku sendiri dengan segala perwujudan nyata atas perasaan itu.
Dua puluh dua tahun. Akhirnya aku memecahkan pendapat orang lain tentang aku yang tak mampu merasakan perasaan marah. Akhirnya aku melihat bagaimana diriku sendiri dengan rasa seperti itu.
Dulu, aku mampu memaklumi apapun.
Ketika segala alasan yang aku ciptakan sendiri tak cukup masuk akal dengan kenyataan yang ada, aku menerima semuanya.
Ketika aku tak mampu menerima, aku acuhkan perasaan yang aku rasa.
Ketika mengacuhkan tak berhasil, aku berpura-pura aku baik-baik saja.
Ketika berpura-pura tak cukup membantu, aku mencari alasan lain.
Ketika tetap menyesakkan dada, aku diam.
Diam yang berubah menjadi menghancurkan barang, dan menjelma menjadi menyakiti diri sendiri.
Cukup.
Cukup.
Cukup.
Aku telah melewati proses-proses tersebut.
Harusnya kini aku tahu, bagaimana aku menyikapi segala sesuatu.
Hanya saja...
Ketakutan kembali aku rasakan. Ketika aku menyadari, tembok pembatas atas segala perasaan berlebihan itu telah hancur. Ketika aku menyadari, tanpa sadar aku membiarkan perasaan itu dengan leluasanya hadir dalam hatiku.
Aku hanya tidak ingin melihat diriku sendiri bersikap menyeramkan seperti dulu lagi.
Tapi apa yang harus aku lakukan?
Bagaimana aku mampu membangun tembok itu lagi?
Dapatkan aku memegang kunci hatiku sendiri lagi?
***
No comments:
Post a Comment