Pages

Thursday, March 20, 2014

Disha #4

Langit gelap tak bercahaya. Hujan turun dengan sangat lebat. Seakan tak peduli dengan tanaman di dalam pot yang bisa saja rusak diguyur olehnya. Tak peduli dengan cacing-cacing yang ingin hidup tenang di dalam tanah sehingga terpaksa harus menggeliat ke permukaan tanah merasa terganggu rumahnya dihancurkan oleh genangan air hujan.

Sejak peristiwa itu,  pertengkaranku dengan Dhany, aku yakin aku tidak ingin melakukan apapun. Semangat yang semula membara untuk mengerjakan tugas kuliah pun tiba-tiba membeku. Aku hanya ingin duduk, melihat hujan, dan mendengarkan musik dengan earphone di sebelah telinga kananku karena aku pun ingin mendengar suara gemuruh yang berisik, juga suara air hujan yang jatuh ke dedaunan.

Aku tidak ingin memikirkan apapun....

Tapi sekuat aku memaksakan diri, aku semakin teringat dengan perbincangan Ibu dan Kak Zaria, kakak perempuan pertamaku, kemarin malam. Tentang perceraian Ayah dan Ibu dahulu. Tentang apa yang harus kami, anak-anaknya rasakan semasa menunggu proses perceraian. 

Kak Zaria bilang,
"Jika dulu kau pernah merasakannya satu kali ketika akan bercerai dengan Ayah, kini anak-anakmu harus merasakannya dua kali, Mom."
"Jadi aku harap kau dapat mengerti perasaan mereka.", pintanya.

Aku melihat ada perasaan bersalah di mata Ibu karena telah marah-marah kepadaku dan Kak Diantha, kakak perempuan keduaku, sebab jarang mengunjunginya.

Entah apa yang dipikirkan oleh Kak Zaria, ia menceritakan segala hal yang telah terjadi di rumah yang aku, Kak Dianthe, dan istri kedua Ayahku tinggali. Padahal, kami berempat, termasuk Kak Rick, kakak laki-lakiku, telah sepakat untuk tidak membuat Ibu khawatir.

Terlepas dari itu, aku pun tak dapat mengelak. Wajah Dhany selalu mucul dalam pikiranku, kata-kata yang ia ucapkan saat pertengkaran kami selalu terngiang di telingaku. Aku benci hal itu. Aku benci di saat kami harus bertengkar. Apakah mungkin Dhany tidak dapat membayangkan bagaimana kehidupan anak-anak dari keluarga yang broken home? Apakah Dhany sama egoisnya dengan Ibuku karena ingin dimanja olehku? Sejujurnya, aku tidak tahan saat Dhany mendiamkan aku. Biasanya aku akan mengalah, melupakan apa yang terjadi, dan menerima begitu saja jika Dhany menyalahkanku atas apa yang terjadi. Tapi tidak kali ini. Belakangan ini aku sudah cukup lelah harus mengikuti apa kata orang. Lebih baik aku tidak melakukan apapun, karena aku juga tidak tahu apakah ada hal lebih baik yang dapat aku lakukan. Yah, setidaknya, bagiku saat ini, tidak melakukan apa-apa adalah hal terbaik yang harus aku lakukan.

Hingga sore ini akan berakhir, kekesalan dalam hatiku belum juga hilang. Bahkan jika saat ini Dhany mengucapkan permintaan maafnya pun aku tidak yakin aku akan membalas pesannya. Mungkin saat aku tiba di rumah nanti, pergi mandi, melahap semua persediaan makananku untuk beberapa hari ke depan, dan minum banyak air putih, aku dapat melupakan kekesalanku kepadanya. Mencoba mengerti terhadap apa yang telah dilakukannya kepadaku. Dan mempercayai harapanku akan terwujud. Agar ia menjadi seorang laki-laki yang sabar, tidak cepat emosi, tidak memaksaku untuk bercerita tentang masalahku disaat aku sedang terpuruk, dan membiarkan aku menjadi anak perempuan yang selalu diperhatikan serta diperjuangkan olehnya. Semoga.


Baca juga :

Disha #1
Disha #2
Disha #3

No comments:

Post a Comment

Small Cute Hot Pink Pointer